Bismillah.
Ramadhan seolah telah hilang dari atmosfer kehidupan manusia. Memang hari-hari bulan Ramadhan telah pergi, tetapi kenangan amalan dan kesejukan ibadah di dalamnya tentu tidak bisa dilupakan oleh seorang muslim.
Benar kata sebagian ulama, bahwa tidak selayaknya kita menjadi ‘ramadhaniyun’ yaitu orang yang hanya semangat beribadah pada saat Ramadhan tetapi mlempem di luar Ramadhan. Bahkan seharusnya kita menjadi orang-orang yang rabbaniyyun; yaitu orang-orang yang secara tekun dan tulus mengabdi kepada Allah Rabb alam semesta ini di sepanjang waktu dan di setiap tempat dan suasana.
Diantara cara untuk bisa menyalakan semangat untuk melanjutkan perjuangan ibadah di luar Ramadhan ialah dengan berjumpa dengan orang-orang salih dan meniti jejak-jejak mereka. Sebagaimana dikatakan oleh sebagian ulama terdahulu, bahwa tasyabbuh/meniru-niru orang yang mulia itu adalah suatu jalan keberuntungan.
Apabila kita lihat bagaimana keadaan salafus shalih dalam melepas kepergian Ramadhan tentu kita akan mengerti bahwa mereka bukanlah orang yang menganggap bahwa ibadah itu habis dengan perginya Ramadhan. Sebab ibadah kepada Allah adalah tugas sekaligus kebutuhan hidup setiap insan selama hayat masih dikandung badan.
Sebab dengan ibadah itulah hati mereka hidup dan memancarkan kebaikan. Bukankah Allah berfirman (yang artinya), “Dan tidaklah Aku ciptakan jin dan manusia melainkan supaya mereka beribadah kepada-Ku.” (adz-Dzariyat : 56). Beribadah kepada Allah artinya tunduk kepada perintah dan larangan-Nya di sepanjang waktu.
Oleh sebab itu Allah bersumpah dengan waktu bahwa manusia merugi selain mereka yang mengisi detik-detik kehidupannya dengan iman dan amal salih. Allah berfirman (yang artinya), “Demi masa. Sesungguhnya manusia benar-benar berada dalam kerugian kecuali orang-orang yang beriman, beramal salih, saling menasihati dalam kebenaran dan saling menasihati dalam menetapi kesabaran.” (al-‘Ashr : 1-3)
Hasan al-Bashri rahimahullah mengingatkan, “Wahai anak Adam, sesungguhnya kamu adalah kumpulan perjalanan hari. Setiap hari berlalu maka lenyaplah sebagian dari dirimu itu.”
Dari sini, kita mengetahui bahwa perginya bulan Ramadhan bukan berarti usainya ketaatan dan amal salih. Bahkan perginya Ramadhan menuntut kita untuk melanjutkan ketaatan dan amal salih di hari dan bulan-bulan sesudahnya. Terlebih lagi apabila kita menyadari bahwa sesungguhnya nilai amal-amal kita itu akan ditentukan pada saat akhir kesudahannya; apakah orang itu meninggal di atas keimanan ataukah tidak? Sebagaimana disebutkan dalam riwayat ‘innamal a’maalu bil khawatim’; sesungguhnya amal-amal itu dilihat dari penutupnya.
Untuk mewujudkan nilai-nilai penghambaan kepada Allah seorang muslim harus senantiasa memadukan antara menyaksikan berbagai curahan nikmat dari Allah kepada dirinya -biasa disebut ulama dengan istilah ‘musyahadatul minnah’- dan terus selalu mengevaluasi dan menggali berbagai aib pada diri dan amalan kita -yang biasa disebut dengan istilah ‘muthola’atu ‘aibin nafsi wal ‘amal’.
Dengan melihat curahan nikmat dari Allah yang terus mengalir kita akan semakin bertambah cinta kepada-Nya; yang kecintaan itu akan melahirkan ketaatan dan kesetiaan. Sebagaimana dengan menyadari berbagai kekurangan dan kesalahan akan membuat kita merendahkan diri dan memohon ampunan-Nya; jangan sampai Allah mewafatkan kita dalam keadaan Dia murka kepada kita.
Inilah target hidup kaum beriman. Menjadikan nafas-nafas dan detak jantungnya bergerak dan menghembuskan kebaikan dan kebaikan. Menjadi orang yang baik bukan hanya dalam penampilan dan perilaku lahiriah, tetapi juga menjadi hamba Allah yang sejati dalam segala keadaan lahir dan batin.
Kita pun berdoa kepada Allah semoga amal kita diterima oleh-Nya, dan semoga Allah mengampuni dosa dan kesalahan kita. Kita tidak ingin menghadap Allah dalam keadaan su’ul khatimah. Kita ingin kembali kepada Allah dengan membawa bekal terbaik yaitu takwa; sebuah kedudukan agung yang diraih dengan perjuangan dan kesungguhan dalam menaklukkan hawa nafsu dan logika kepada ketetapan Allah; Dzat yang menciptakan alam semesta dengan segala isinya.
Semoga Allah berikan taufik kepada kita untuk melangkah maju menyambut hari perjumpaan dengan-Nya dengan penuh keimanan dan menguatkan hati dan tubuh kita dengan keistiqomahan. Segala puji bagi Allah Rabb seru sekalian alam. Salawat dan salam semoga tercurah kepada rasul-Nya, para sahabatnya, dan segenap pengikut setia mereka.
Yogyakarta, 9 Syawwal 1440 H
Redaksi al-mubarok.com